MENCARI TITIK TEMU
ANTARA NU DENGAN MUHAMMDIYAH
M A K A L A H
Diajukan untuk memenuhi tugas
matakuliah Pendidikan Agama Islam
AKUNTANSI

Oleh:
One Dyahayu K
2012110037
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRIBHUWANA
TUNGGADEWI
MALANG
2013
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr. wb
Syukur Alhamdulillah, merupakan satu
kata yang pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang karena bimbimngan-Nya
lah maka penulis bisa menyelesiakan sebuah karya tulis yang berjudul “Mencari
Titik Temu Antara NU dengan Muhammadiyah”.
Makalah ini dibuat dengan berbagai
observasi dalam jangka waktu tertentu,
sehingga menghasilkan karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan
hasilnya .Penulis mengucapkan trimakasih kepada pihak yang terkait yang telah
membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberi kritik dan saran
yang membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Dengan ini penulis mempersembahkan
makalah ini dengan penuh rasa trimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi
makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Wasalamualaikum
wr. wb
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Sejarah Berdirinya Nahdlatul
Ulama............................................................ 1
2. Sejarah Berdiranya Muhammadiyah...........................................................
2
3. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
4. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
5. Manfaat penulisan........................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan
NU dengan Muhammadiyah.......................................................5
2.2 Pertemuan Paham Keagamaan NU
dan Muhammadiyah............................ 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 12
3.2 Saran .......................................................................................................... 13
Daftar
Pustaka........................................................................................... ........14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah
Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama
atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah
organisasi islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926
dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Tempat kelahiran
organisasi Nahdlatul Ulama bertempat di Masjid Jombang.
Organisasi ini dipimpin
oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais
Akbar.Untuk menegaskan prisip
dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua
kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemaAmpuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam
Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4
di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi,
yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.Gagasan
kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU. Tujuan Menegakkan
ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2 Sejarah Berdiranya Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai
alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad
Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti
”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya
adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan
melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh
Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang
kemauan agama Islam.
Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.” Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki
inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus
memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang
berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah
memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan
dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara
benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan
secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni
Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk
mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia
kemajuan.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat
Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran
“transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata.
Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi
Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi
Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam
dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba
kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala
kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi,
yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di
Indonesia.
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia,ternyata antara Muhammadiyah dan NU
(Nahdlatul Ulama) memiliki beberapa perbedaan mendasar. Baik dalam teologis,
visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan
sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua
organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan – perbedaan yang ada
mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan
kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak
produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun keagamannya.
Keberadaan Muhammadiyah dan NU dalam sejarah Indonesia modern memang sangat
menarik, sepanjang perjalanan kedua organisasi islam terbesar ini, senantiasa
diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan
Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran
lama yang mencekam karena pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sangat
emosi dan sentiment histories yang amat
sensitif. Sekedar contoh, sering dinyatakan kelahiran NU tahun 1926 merupakan
reaksi defensif atas berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan
sarekat islam Islam) meski bukan satu- satunya alasan.
1.3 Rumusan masalah
a)
Perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?
b)
Pertemuan
Paham Keagmaan NU dan Muhammadiyah ?
1.4 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah adalah untuk mengetahui Titik Temu antara NU
dan Muhammadiyah
1.5 Manfaat
Berdasarkan
rumusan masalah dan tujuan diatas maka manfaat dari penulisan makalah ini
adalah dapat mengetahui sejarah
berdirinya NU dan Muhammadiyah dan dapat mengetahui perbedaan antara NU dan
Muhammadiyah serta dapat mengetahui titik temu antara NU dan Muhammadiyah. Bagi
penulis sendiri, makalah ini merupakan wadah untuk mengaplikasikan teori yang
slama ini diterima di bangku kuliah dalam bentuk makalah ini.
Akhirnya
makalah ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pustaka bagi akademisi maupun
berbagai pihak yang memerlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan NU dengan Muhammadiyah
Muhammadiyah
dan NU adalah organisasi bukan masalh fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia,
Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat islam secara fiqih
juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”. Sedang NU (nahdhatul ulama) mewakili
kelompok “tradisional”.
Beberapa
persamaan antara NU dan Muhammadiyah yang sering tidak disadari oleh anggota
dua ormas besar di Indonesia tersebut, sehingga sering terjadi pula gesekan.
Dalam organisasi Muhammadiyah dan NU sepanjang pengasuh rubrik Fatwa Agama
diketahui bahwa sumber-sumber hukum utama menurut kedua organisasi ini pada
dasarnya tidak ada perbedaan, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Namun dalam
aplikasi serta hirarkhi berikutnya terdapat perbedaan. Hal ini tidak lepas dari
paham keagamaan pada kedua onganisasi ini yang lahir serta terbentuk melalui
visi dan orientasi yang berbeda.
Di
samping itu perbedaan pemahaman terhadap sumber-sumber hukum juga tidak lepas
dari adanya perbedaan di kalangan imam mazhab karena merupakan mata rantai
sejarah perkembangan hukum Islam yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini tidak
bisa dipungkiri bahwa dalam berijtihad Muhammadiyah menggunakan manhaj
sebagaimana dilakukan oleh para mujtahid serta imam-imam mazhab. Namun
Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada satu mazhab, pendapat imam mazhab
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang pendapat tersebut
sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan NU dalam mengamalkan
ajaran Islam menggunakan pola bermazhab, yaitu dengan mengikatkan diri pada
suatu pendapat atau mazhab tententu. Misalnya dalam membahas masalah-masalah
agama banyak merujuk kepada kitab-kitab dari kalangan mazhab empat, khususnya
kitab ulama Syafi’iyyah.
Secara
umum yang bisa menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah antara
lain:
- Perbedaan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
- Perbedaan di dalam memahami as-Sunnah termasuk perbedaan dalam menentukan statusnya
- Perbedaan di dalam penggunaan ar-ra’yu (penalaran) yang akan mempengaruhi metodologi yang digunakan
- Karena pengaruh lingkungan.
Contoh masalah yang berbeda antara Muhammadiyah
dan NU, antara lain:
a. Menyentuh wanita yang bukan mahram sesudah berwudu. Menurut
Muhammadiyah tidak membatalkan wudu karena Muhammadiyah menafsirkan
ayat 43 surah anNisa “au lamastumunnisa” dengan bersetubuh. Sedangkan
menurut NU membatalkan wudu, karena kata “lamastum” diartikan menyentuh.
b. Menghadiahkan pahala kepada onang yang telah meninggal. Menurut
Muhammadiyah tidak ada dasar ajaran yang mengacu ke arah itu, sedangkan
menurut NU, boleh menghadiahkan pahala kepada orang yang telah meninggal
dan pahalanya sampai, dasarnya adalah kitab Tuhfah alMuhtaj.
c. Dan lainlain yang secara ringkas dapat disebutkan hal-hal yang tidak dikenal di
dalam Muhannmadiyah tetapi lazim di kalangan NU, seperti talqin bagi orang
yang sudah meninggal, haul (upacara peringatan ulang tahun kematian
seseorang), membayar fidyah bagi seorang yang mati dan masih berhutang
shalat, dan lainlain.
d. Contoh masalah yang sama antara Muhammadiyah dan NU antara lain mengenai
masalahmasalah baru yang belum dibahas oleh imam-imam mazhab, seperti
masalah bayi tabung, transplantasi organ tubuh, KB dan lainlain
a. Menyentuh wanita yang bukan mahram sesudah berwudu. Menurut
Muhammadiyah tidak membatalkan wudu karena Muhammadiyah menafsirkan
ayat 43 surah anNisa “au lamastumunnisa” dengan bersetubuh. Sedangkan
menurut NU membatalkan wudu, karena kata “lamastum” diartikan menyentuh.
b. Menghadiahkan pahala kepada onang yang telah meninggal. Menurut
Muhammadiyah tidak ada dasar ajaran yang mengacu ke arah itu, sedangkan
menurut NU, boleh menghadiahkan pahala kepada orang yang telah meninggal
dan pahalanya sampai, dasarnya adalah kitab Tuhfah alMuhtaj.
c. Dan lainlain yang secara ringkas dapat disebutkan hal-hal yang tidak dikenal di
dalam Muhannmadiyah tetapi lazim di kalangan NU, seperti talqin bagi orang
yang sudah meninggal, haul (upacara peringatan ulang tahun kematian
seseorang), membayar fidyah bagi seorang yang mati dan masih berhutang
shalat, dan lainlain.
d. Contoh masalah yang sama antara Muhammadiyah dan NU antara lain mengenai
masalahmasalah baru yang belum dibahas oleh imam-imam mazhab, seperti
masalah bayi tabung, transplantasi organ tubuh, KB dan lainlain
2.2 Pertemuan Paham Keagamaan NU dan Muhammadiyah
Kiranya perlu Penulis menjelaskan perbedaan dua ormas Islam. NU dan MD,
secara khusus dalam ritual keagamaannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani
perbedaan dan mempertemukan dua kutub keagamaan diantara keduanya. Dimulai dari
tahlilan, jika MD tidak menerima tahlilan sebagai produk kreatifitas ijtihad.
Karena proses tahlilan dianggap keluar dari Al-Quran dan As-Sunnah. Dua
“nahkoda” hukum Islam ini tidak mengajarkan tahlilan. Dan tradisi tahlilan
sangat menyerupai agama Hindu. Dan orang yang menyerupai suatu kaum adalah sama
seperti kaum yang bersangkutan. [1]
Lain halnya di NU, NU menganggap bahwa hakikat tahlilan adalah proses
dzikir dan doa bersama untuk orang yang sudah meninggal dunia secara
terkoordinir. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk orang yang sudah meninggal
adalah dianjurkan Al-Quran dan As-Sunnah. NU sepertinya tidak melihat teknis
dan proses pelaksanaan yang mirip dengan tradisi Hindu. Inilah kreatifitas
Ijtihad NU. Memang, Allah dan Nabi Muhammad tidak pernah memerintah untuk
mendoakan dan memintakan ampunan untuk orang mati secara eksplisit, namun
secara implisit Islam menganjurkan hal itu. Mengenai teknis dan prosesnya
diserahkan kepada kita. MD sepertinya memilih teknis pelaksanaan dzikir dan doa
tidak dilaksanakan dengan cara yang menyerupai perbuatan kaum yang bukan Islam.
Kendatipun isinya tidak menyimpang dari Islam.
Bila malam Jumat, atau hari yang dianggap dimulyakan oleh Allah seperti
malam Isra’ Mi’raj, kelahiran Nabi Muhammad dll, Muslim tradisional NU
mengadakan pembacaan shalawat diba’yah, al-Barzanji, simthu durar,
dan kitab-kitab pujian kepada Nabi Muhammad, keluarganya, sahabat-sahabatnya,
dan para pengikut sunnahnya yang lain. Ulama NU mengangap proses penghargaan
setinggi-tingginya dengan bait-bait bahasa itu adalah hal yang tidak
bertentangan dengan ruh dan hakikat ajaran Islam.
Karena Al-Quran mengajarkan kita agar membaca shalawat kepada Nabi, dan
sesungguhnya Allah dan para malaikat membaca shalat kepada Nabi Muhammad.
Prosesi dan teknis pembacaannya tidak ditentukan. Sama halnya dengan tahlilan,
Allah tidak menjelaskan teknis dan proses pelaksanaannya. Tetapi secara
subtantif tidak sampai mendobrak bangunan Islam dan pilar iman, apalagi sampai
keluar dari Islam. Tidak.
Semua teknis, setting, dan format proses pelaksanaannya diserahkan kepada
kita. Karena Allah memang tidak menjelaskannya. Sejauh proses itu tidak
menimbulkan kesyirikan, dan penyimpangan, maka ya sah sah saja dalam pandangan
NU. Dan sampai saat ini sejauh yang diketahui Penulis, tidak ada dari kalangan
NU yang sampai menuhankan Muhammad SAW (karena beliau memang bukan Tuhan),
sebagaimana yang banyak diasumsikan sebagian orang yang tidak punya wisdom
dan pemahaman filosofis.
Klaim “syirik” ini lebih banyak disebakan oleh kalimat puisi dan syair
cinta Rasul. Kalangan yang sering melontarkan kata-kata “syirik dan bid’ah”
atas shalawatan terjebak dengan seni wicara bahasa Arab (ilmu balaghah)
yang banyak ditemukan dalam kitab pujian rasul.
Di dalam kitab-kitab shalawatan lebih banyak mengandung kalimat majaz
yang mengesankan Nabi Muhammad SAW bukan manusia lagi, bahkan juga kepada para
sahabatnya. Salah
satu contoh “توسلنا ببسم الله وبالهادي رسول الله إلخ”
dsb. Ini wajar, karena pengarang kitab burdah dan dibah’iyah
misalnya, yang kemudian diikuti kalangan NU tanpa telaah kritis teks, tenggelam
berada dalam lautan romantisme dengan air mata cinta dan luapan lautan rindu
kepada Nabi Muhammad SAW. Si pengarang kagum dengan sifat-sifat
Nabi akhir zaman ini. Dan ini terjadi juga pada Karen Armstrong yang juga
memuji Muhammad karena kagum kepada keperibadiannya. Tidak heran Michael Hart
menunjukkan kekagumannya dengan memposisikan Nabi Muhammad SAW diurutan nomor
satu dalam buku Seratus Tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Banyak
lagi tokoh-tokoh yang kagum dan akhirnya memuji kepada Muhammad SAW.
Dalam shalawatan ini MD lebih memilih tidak melakukan ceremonial
ritual pujian ini dalam bentuk barzanjen, diba’an, burdahan, dsb
sebagaimana NU. Karena menurut mereka, teknis membaca shalawat sudah diatur
dalam kitab hadits dengan cukup membaca “اللهم صل على محمد”
tidak lebih dari itu. Sementara pembuktian cinta dan rindunya kepada Muhammad
SAW diwujudkan dengan amal sosial seperti pendirian panti asuhan, rumah sakit,
lembaga pendidikan, dan gerakan-gerakan dalam mengentas kemiskinan dan
memberantas kebodohan umat Islam, walaupun sebenarnya NU juga bergerak di
bidang ini, hanya saja kurang terkooridinir dengan manajemen yang seperti MD.
MD dalam hal ini lebih menjadi man of action yang diwariskan oleh
filantroper, establisher, and founder of Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan.
Jika dalam NU adzan jumatan dua kali, maka tradisi ini didasarkan pada
ijtihad Ustman bin Affan yang mengambil kebijakan adzan jumat dua. Kebijakan
ini dilakukan karena munurut Ustman, umat Islam semakin meluas, banyak dan
melebar. Dengan demikian butuh pengumuman shalat jumat dua kali. Adzan yang
pertama menunjukkan waktu masuk dzuhur, dan yang kedua ketika khotib mau naik
mimbar. Tindakan Ustman ini tidak bertentangan dengan konsep mashalah
dan sama sekali tidak keluar dari ruh syariat Islam.
MD memilih adzan satu kali saja, (lebih hemat energi listrik dan suara),
selain memang karena mereka MD lebih memakai apa yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW adzan satu kali. Apa yang dilakukan Utsman tidak berarti keluar
dari sunnah. Karena para sahabat Nabi khususnya empat sahabatnya berijtihad
sesuai dengan mashlahah, dan perlu diingat, pada zaman nabi sudah ada ruh
ijtihad, yaitu nabi mengiyakan muadz bin jabal untuk ijtihad jika dalam
permasalahan tidak menemukan dalil al-quran dan sunnah. Di sini NU
lebih maju dalam hal kreativitas ijtihad.
Sebenarnya masjid-masjid MD (seperti masjid AR. Fakhruddin UMM misalnya)
juga membuat kebijakan pengumuman shalat jumat ini bukan dengan adzan diua kali, melainkan dengan membunyikan
bacaan MP3 bacaan Al-Quran Imam Al-Ghomidi misalnya. Pesan moralnya sama antara
NU dan MD. Yaitu kebutuhan mengumumkan persiapan shalat jumat. Bukannya MD
tidak mengakui wisdom hasil ijtihad Ustman r.a. hanya saja mereka lebih
memperioritaskan apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Bagi MD, Nabi Muhammad
SAW yang lebih mulya daripada sahabat-sahabatnya. Namun demikian, MD tetap
mengakui keagungan sifat-sifat mulya para sahabat. MD tidak menafikan ijtihad
Ustman r.a.
Berangkat dari uraian di atas, MD lebih “konsisten” dan lebih kritis dalam
memilih dan memprioritaskan teks keagamaan sebagai pijakan dan pedoman untuk
pelaksanaan ritual dan ritus keagamaan. MD tidak membuka pintu toleransi untuk
menerima teks majazi (kiyasan dan metaforis) dalam shalawat diba’iyah
yang mengesankan “pengkultusan” Nabi Muhammad SAW. Karena MD mengkhawatirkan
akidah umat Islam terseret oleh ombak permainan seni bahasa arab. Menurut
Penulis, tidaklah baik kekhawatiran yang yang berlebihan dan apalagi muncul truth
claim “syirik” kepada pembaca shalawat diba’yah. Karena pengunaan
kata majazi (kata kiyasan dan metaforis) banyak dituangkan dalam
Al-Quran.
Bukankah banyak contoh kalimat dalam Al-Quran yang secara tekstual memberi
kesan pemahaman yang berpotensi membawa kekufuran dan syirik. Salah satu contoh
“وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ”.
Arti ayat ini secara tekstual “Demi langit yang Kami bangun dengan dengan tangan-tangan,
dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (QS Ad-Dzariyat: 47). Jika
kita “ngemplok” (memakan) ayat ini secara tekstual dan literal, maka
kata “بِأَيْدٍ” jamak dari yadun, akan berarti
“tangan”. Dengan cara pemahaman seperti ini akan menjadikan asumsi Allah punya
tangan. Bukankah ayat ini secara tekstual mengajarkan paham antromorpisme?
Pada saat terdengar kata “tangan”, maka yang terbesit dalam benak dan hati
adalah sebagaimana tangan manusia. Maka dari itu, pemahaman ayat ini butuh ilmu
seni retorika dan wicara (balaghah). Menurut teori ilmu balaghah,
diartikan dengan majaz dan isti’arah. Karena kalau diartikan
menurut apa adanya berdasarkan hakikat makna kata, maka akan memberi peluang
terserertnya pemahaman akal yang salah pada Dzatnya Allah. Contoh lain, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [طه: 5].
Dan banyak lagi contoh-contoh kalimat Al-Quran yang membutuhkan pemahaman
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Termasuk sain.
Demikian pula dalam kitab hadits. Lebih-lebih dalam buku-buku atau kitab
shalawat, sangat banyak sekali kalimat-kalimat yang tidak seharusnya
ditafsirkan dan diartikan secara literal. Karena kitab shalawat, memang tak
lebih dari kitab pujian tentang sifat-sifat dan perilaku Nabi Muhammad dengan
gaya bahasa roman, puisi dan syair yang karena pengarangnya sedang tenggelam
dalam lautan mahabbah. Sekali lagi, sejauh tidak menuhankan Nabi
Muhammad, yah sah-sah saja. Sejauh yang saya ketahui, orang-orang tradisional
tidak ada yang menuhankan Muhammad SAW. Kenyataannya memang tidak ada yang
sampai menuhankan Muhammad. Kekurangannya, kalangan NU hanya terbuai dengan
romantisme ceremonial membaca shalawat, tanpa ada sikap kritis dan skeptualis,
atau setidaknya memahami arti kalimat-kalimat yang dilantunkan. Lebih dari itu,
anggapan bahwa agama yang menggelorakan rasa cinta dengan melantunkan shalawat,
kurang memperhatikan kemajuan untuk mengembangkan peradaban yang diwariskan
Muhammad SAW itu sendiri
Di lain pihak, NU lebih kreatif mengembangkan proses pemikiran epistemology
itjihad dalam tiga hal (tahlilan, diba’aan, burdahan, dll) di atas. Dalam
tiga hal ini MD jumud, kaku, ekslusif dan bahkan konservatif dalam ijtihad.
Menurut MD masih banyak dzikir implementatif (sosial pendidikan) yang
lebih besar manfaat daripada dzikir dan pujian di atas. Untuk pujian shalawat
masyarakat MD lebih banyak menjadi konsumen (pendengar dan penikmatan CD-CD
shalawat Cak Nun, Haddad Alwi, Shalawat Langitan, dll); bukan kreator. Toh
walaupun secara diam-diam MD juga banyak melakukan bid’ah hasanah dalam
proses pelaksanaan ibadahnya. Terbukti dengan adanya pemutaran bacaan Al-Quran,
i’tikaf berjamaah, PHBI, dsb. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,
MD dan NU hanya berbeda sudut pandang. Pada hakikatnya adalah sama. Keduanya
benar dan tidak ada yang salah.
Sungguh pun dari luar kelihatannya berbeda, namun hakikatnya
sama. Dalam satu sisi MD lebih unggul dari NU, dalam aspek yang lain NU lebih
progresif dan kreatif dari MD. Salah satu contoh, kalau ada acara-acara
pertemuan misalnya, karya NU dalam bentuk lagu-lagu bacaan shalawat
bersenandung menyejukkan hati. Pemutaran lagu shalawat ini ada juga terjadi
dalam komunitas MD, apalagi NU. Dan uniknya masyarakat MD juga menikmati
lagu-lagu shalawat ini. Padahal lagu-lagu shalawat yang dilagukan ini tidak
diajarkan Nabi.
Dari sini kita mengetahui bahwa dalam agama harus ada budaya yang menjadi
wadah pengembangannya. MD dan NU sama. Cara pengembangannya yang berbeda. Yang
tidak sama adalah yang tidak bertuhan, atau menuhankan benda. Saya tidak ingin
perbedaan cara keagamaan NU dan MD dijadikan kedok untuk politik kekuasaan,
atau bahkan alat untuk mendapat kekuasaan. Seringkali Penulis bertabrakan
dengan kalangan yang tidak arif dan tidak punya wisdom, menampakkan sinisme,
kecurigaan, bahkan menuduh yang bukan-bukan, karena ada sekat “kebodohan
pemahaman agama” baik dari kalangan NU dan MD, baik kalangan pemikir kelas teri
atau masyarakat bawah.
Jika yang terjadi adalah demikian, maka berarti keluar dari paham keagamaan
MD dan NU. Karena di dalam NU sangat diajarkan toleran, dan di MD juga. Maka
dari itu, marilah pahami agama ini dengan berfilsafat, seni, dan metodologi
yang dimiliki Islam secara komprehensif. Ushul fiqh, kaidah fiqh, ulumul Quran,
ulumul hadits, dan pendekatan filsafati atau epsitemologi yang lain harus
dijadikan bumbu pemahaman agama. Sehingga agama ini tidak menjadi kaku, kasar,
kejam, dan tidak menjadi terlalu longgar sampai keluar dari ajaran. Yang paling
penting, jangan ada permusuhan, apalagi sampai menimbulkan kerusuhan. Marilah
wujudkan Bhinneka Tunggal Ika dalam tubuh bangsa yang plural ini.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah diulas diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan
antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan
pendiri organisasi islam terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari
“madrasah” (school of thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.
Muhammadiyah
(lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari
inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis)
seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern
misalnyamembuka pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh
ijtihad, menghidupkan kembali pemikiran islam.
Disisi
lain, NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari,
1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak
kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah,
pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika
bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan
sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari
justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Kedua
organisasi tersebut memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat
perbedaan yang nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya
Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang
NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus
melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan
pandangan ini sudah tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan
adanya toleransi yang besar dari keduanya. Dari sini kita mengetahui bahwa
dalam agama harus ada budaya yang menjadi wadah pengembangannya. MD dan NU
sama. Cara pengembangannya yang berbeda. Yang tidak sama adalah yang tidak
bertuhan, atau menuhankan benda. Saya tidak ingin perbedaan cara keagamaan NU
dan MD dijadikan kedok untuk politik kekuasaan, atau bahkan alat untuk mendapat
kekuasaan. Seringkali Penulis bertabrakan dengan kalangan yang tidak arif dan
tidak punya wisdom, menampakkan sinisme, kecurigaan, bahkan menuduh yang
bukan-bukan, karena ada sekat “kebodohan pemahaman agama” baik dari kalangan NU
dan MD, baik kalangan pemikir kelas teri atau masyarakat bawah.
Jika yang
terjadi adalah demikian, maka berarti keluar dari paham keagamaan MD dan NU.
Karena di dalam NU sangat diajarkan toleran, dan di MD juga. Maka dari itu, marilah
pahami agama ini dengan berfilsafat, seni, dan metodologi yang dimiliki Islam
secara komprehensif. Ushul fiqh, kaidah fiqh, ulumul Quran, ulumul hadits, dan
pendekatan filsafati atau epsitemologi yang lain harus dijadikan bumbu
pemahaman agama. Sehingga agama ini tidak menjadi kaku, kasar, kejam, dan tidak
menjadi terlalu longgar sampai keluar dari ajaran.
3.2
SARAN
Semua agama adalah agama yanga benar
tergantung bagaimana orang yang menganutnya. Begitu pula dengan islam, islam
itu berarti selamat dan damai. Selamatlah dan damai bagi orang yang
menganutnya. Mengapa harus berselisih paham?
Titik temu ini bisa dipertemukan dengan cara
mempertemukan kedua belah imamnya. Jika masih saja belum bisa bertemu maka
toleransilah yang harus kita kembangkan. Serapilah ajaran agama dengan benar
agar terhindar dari hal- hal yang dapat merugikanmu.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip
dari:
Komentar
Posting Komentar