Mencari Titik Temu Muhammadyah Nu


MENCARI TITIK TEMU
ANTARA NU DENGAN MUHAMMDIYAH

   M A K A L A H
      Diajukan  untuk memenuhi tugas
              matakuliah Pendidikan Agama Islam






     AKUNTANSI


















       Oleh:
One Dyahayu K
                2012110037





FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
            Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang karena bimbimngan-Nya lah maka penulis bisa menyelesiakan sebuah karya tulis yang berjudul “Mencari Titik Temu Antara NU dengan Muhammadiyah”.
            Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu,  sehingga menghasilkan karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya .Penulis mengucapkan trimakasih kepada pihak yang terkait yang telah membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberi kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
            Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa trimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Wasalamualaikum wr. wb

                                                                       


                                                                                    Penulis

DAFTAR ISI


Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama............................................................ 1
2.  Sejarah Berdiranya Muhammadiyah........................................................... 2
3. Rumusan Masalah ........................................................................................  3     
4. Tujuan Penulisan ..........................................................................................  3
5. Manfaat penulisan........................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan NU dengan Muhammadiyah.......................................................5
2.2 Pertemuan Paham Keagamaan NU dan Muhammadiyah............................ 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................  12
3.2 Saran ..........................................................................................................  13
Daftar Pustaka........................................................................................... ........14

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
NU-box 0.jpg
 Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama bertempat di Masjid Jombang.
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
            NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemaAmpuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Tujuan Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2 Sejarah Berdiranya Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam.
Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.” Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia,ternyata antara Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) memiliki beberapa perbedaan mendasar. Baik dalam teologis, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan – perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun keagamannya.
Keberadaan Muhammadiyah dan NU dalam sejarah Indonesia modern memang sangat menarik, sepanjang perjalanan kedua organisasi islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam karena pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sangat emosi dan  sentiment histories yang amat sensitif. Sekedar contoh, sering dinyatakan kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan sarekat islam Islam) meski bukan satu- satunya alasan.

1.3  Rumusan masalah
a)      Perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?
b)      Pertemuan Paham Keagmaan NU dan Muhammadiyah ?

1.4  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah adalah untuk mengetahui Titik Temu antara NU dan Muhammadiyah

1.5 Manfaat
            Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan diatas maka manfaat dari penulisan makalah ini adalah  dapat mengetahui sejarah berdirinya NU dan Muhammadiyah dan dapat mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah serta dapat mengetahui titik temu antara NU dan Muhammadiyah. Bagi penulis sendiri, makalah ini merupakan wadah untuk mengaplikasikan teori yang slama ini diterima di bangku kuliah dalam bentuk makalah ini.
Akhirnya makalah ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pustaka bagi akademisi maupun berbagai pihak yang memerlukan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perbedaan NU dengan Muhammadiyah
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi bukan masalh fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat islam secara fiqih juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”. Sedang NU (nahdhatul ulama) mewakili kelompok “tradisional”.
Beberapa persamaan antara NU dan Muhammadiyah yang sering tidak disadari oleh anggota dua ormas besar di Indonesia tersebut, sehingga sering terjadi pula gesekan. Dalam organisasi Muhammadiyah dan NU sepanjang pengasuh rubrik Fatwa Agama diketahui bahwa sumber-sumber hukum utama menurut kedua organisasi ini pada dasarnya tidak ada perbedaan, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Namun dalam aplikasi serta hirarkhi berikutnya terdapat perbedaan. Hal ini tidak lepas dari paham keagamaan pada kedua onganisasi ini yang lahir serta terbentuk melalui visi dan orientasi yang berbeda.
Di samping itu perbedaan pemahaman terhadap sumber-sumber hukum juga tidak lepas dari adanya perbedaan di kalangan imam mazhab karena merupakan mata rantai sejarah perkembangan hukum Islam yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa dalam berijtihad Muhammadiyah menggunakan manhaj sebagaimana dilakukan oleh para mujtahid serta imam-imam mazhab. Namun Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada satu mazhab, pendapat imam mazhab menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang pendapat tersebut sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan NU dalam mengamalkan ajaran Islam menggunakan pola bermazhab, yaitu dengan mengikatkan diri pada suatu pendapat atau mazhab tententu. Misalnya dalam membahas masalah-masalah agama banyak merujuk kepada kitab-kitab dari kalangan mazhab empat, khususnya kitab ulama Syafi’iyyah.

Secara umum yang bisa menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah antara lain:
  1. Perbedaan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
  2. Perbedaan di dalam memahami as-Sunnah termasuk perbedaan dalam menentukan statusnya
  3. Perbedaan di dalam penggunaan ar-ra’yu (penalaran) yang akan mempengaruhi metodologi yang digunakan
  4. Karena pengaruh lingkungan.
Contoh masalah yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU, antara lain:
a.  Menyentuh wanita  yang  bukan mahram  sesudah berwudu. Menurut
Muhammadiyah tidak  membatalkan wudu  karena  Muhammadiyah menafsirkan
ayat 43  surah an­Nisa  “au  lamastumun­nisa” dengan bersetubuh. Sedangkan
menurut NU membatalkan wudu, karena kata “lamastum” diartikan menyentuh.
b. Menghadiahkan pahala  kepada  onang  yang  telah meninggal. Menurut
Muhammadiyah tidak  ada dasar  ajaran yang  mengacu  ke  arah itu, sedangkan
menurut NU,  boleh menghadiahkan pahala  kepada  orang  yang  telah meninggal
dan pahalanya sampai, dasarnya adalah kitab Tuhfah al­Muhtaj.
c.  Dan lain­lain yang  secara  ringkas dapat disebutkan hal­-­hal yang  tidak  dikenal di
dalam Muhannmadiyah tetapi lazim di kalangan NU,  seperti talqin bagi orang
yang  sudah meninggal, haul (upacara  peringatan ulang  tahun kematian
seseorang), membayar  fidyah bagi seorang  yang  mati  dan masih berhutang
shalat, dan lain­lain.
d. Contoh masalah yang  sama antara Muhammadiyah dan NU antara  lain mengenai
masalah­masalah baru  yang  belum dibahas oleh imam-­imam mazhab, seperti
masalah bayi tabung, transplantasi organ tubuh, KB dan lain­lain

2.2 Pertemuan Paham Keagamaan NU dan Muhammadiyah

Kiranya perlu Penulis menjelaskan perbedaan dua ormas Islam. NU dan MD, secara khusus dalam ritual keagamaannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan dan mempertemukan dua kutub keagamaan diantara keduanya. Dimulai dari tahlilan, jika MD tidak menerima tahlilan sebagai produk kreatifitas ijtihad. Karena proses tahlilan dianggap keluar dari Al-Quran dan As-Sunnah. Dua “nahkoda” hukum Islam ini tidak mengajarkan tahlilan. Dan tradisi tahlilan sangat menyerupai agama Hindu. Dan orang yang menyerupai suatu kaum adalah sama seperti kaum yang bersangkutan. [1]
Lain halnya di NU, NU menganggap bahwa hakikat tahlilan adalah proses dzikir dan doa bersama untuk orang yang sudah meninggal dunia secara terkoordinir. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk orang yang sudah meninggal adalah dianjurkan Al-Quran dan As-Sunnah. NU sepertinya tidak melihat teknis dan proses pelaksanaan yang mirip dengan tradisi Hindu. Inilah kreatifitas Ijtihad NU. Memang, Allah dan Nabi Muhammad tidak pernah memerintah untuk mendoakan dan memintakan ampunan untuk orang mati secara eksplisit, namun secara implisit Islam menganjurkan hal itu. Mengenai teknis dan prosesnya diserahkan kepada kita. MD sepertinya memilih teknis pelaksanaan dzikir dan doa tidak dilaksanakan dengan cara yang menyerupai perbuatan kaum yang bukan Islam. Kendatipun isinya tidak menyimpang dari Islam.  
Bila malam Jumat, atau hari yang dianggap dimulyakan oleh Allah seperti malam Isra’ Mi’raj, kelahiran Nabi Muhammad dll, Muslim tradisional NU mengadakan pembacaan shalawat diba’yah, al-Barzanji, simthu durar, dan kitab-kitab pujian kepada Nabi Muhammad, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikut sunnahnya yang lain. Ulama NU mengangap proses penghargaan setinggi-tingginya dengan bait-bait bahasa itu adalah hal yang tidak bertentangan dengan ruh dan hakikat ajaran Islam.
Karena Al-Quran mengajarkan kita agar membaca shalawat kepada Nabi, dan sesungguhnya Allah dan para malaikat membaca shalat kepada Nabi Muhammad. Prosesi dan teknis pembacaannya tidak ditentukan. Sama halnya dengan tahlilan, Allah tidak menjelaskan teknis dan proses pelaksanaannya. Tetapi secara subtantif tidak sampai mendobrak bangunan Islam dan pilar iman, apalagi sampai keluar dari Islam. Tidak.  
Semua teknis, setting, dan format proses pelaksanaannya diserahkan kepada kita. Karena Allah memang tidak menjelaskannya. Sejauh proses itu tidak menimbulkan kesyirikan, dan penyimpangan, maka ya sah sah saja dalam pandangan NU. Dan sampai saat ini sejauh yang diketahui Penulis, tidak ada dari kalangan NU yang sampai menuhankan Muhammad SAW (karena beliau memang bukan Tuhan), sebagaimana yang banyak diasumsikan sebagian orang yang tidak punya wisdom dan pemahaman filosofis.
Klaim “syirik” ini lebih banyak disebakan oleh kalimat puisi dan syair cinta Rasul. Kalangan yang sering melontarkan kata-kata “syirik dan bid’ah” atas shalawatan terjebak dengan seni wicara bahasa Arab (ilmu balaghah) yang banyak ditemukan dalam kitab pujian rasul.
Di dalam kitab-kitab shalawatan lebih banyak mengandung kalimat majaz yang mengesankan Nabi Muhammad SAW bukan manusia lagi, bahkan juga kepada para sahabatnya. Salah satu contoh “توسلنا ببسم الله وبالهادي رسول الله إلخ” dsb. Ini wajar, karena pengarang kitab burdah dan dibah’iyah misalnya, yang kemudian diikuti kalangan NU tanpa telaah kritis teks, tenggelam berada dalam lautan romantisme dengan air mata cinta dan luapan lautan rindu kepada Nabi Muhammad SAW. Si pengarang kagum dengan sifat-sifat Nabi akhir zaman ini. Dan ini terjadi juga pada Karen Armstrong yang juga memuji Muhammad karena kagum kepada keperibadiannya. Tidak heran Michael Hart menunjukkan kekagumannya dengan memposisikan Nabi Muhammad SAW diurutan nomor satu dalam buku Seratus Tokoh yang paling berpengaruh  di dunia. Banyak lagi tokoh-tokoh yang kagum dan akhirnya memuji kepada Muhammad SAW.
Dalam shalawatan ini MD lebih memilih tidak melakukan ceremonial ritual pujian ini dalam bentuk barzanjen, diba’an, burdahan, dsb sebagaimana NU. Karena menurut mereka, teknis membaca shalawat sudah diatur dalam kitab hadits dengan cukup membaca “اللهم صل على محمد” tidak lebih dari itu. Sementara pembuktian cinta dan rindunya kepada Muhammad SAW diwujudkan dengan amal sosial seperti pendirian panti asuhan, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan gerakan-gerakan dalam mengentas kemiskinan dan memberantas kebodohan umat Islam, walaupun sebenarnya NU juga bergerak di bidang ini, hanya saja kurang terkooridinir dengan manajemen yang seperti MD. MD dalam hal ini lebih menjadi man of action yang diwariskan oleh filantroper, establisher, and founder of Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan.
Jika dalam NU adzan jumatan dua kali, maka tradisi ini didasarkan pada ijtihad Ustman bin Affan yang mengambil kebijakan adzan jumat dua. Kebijakan ini dilakukan karena munurut Ustman, umat Islam semakin meluas, banyak dan melebar. Dengan demikian butuh pengumuman shalat jumat dua kali. Adzan yang pertama menunjukkan waktu masuk dzuhur, dan yang kedua ketika khotib mau naik mimbar. Tindakan Ustman ini tidak bertentangan dengan konsep mashalah dan sama sekali tidak keluar dari ruh syariat Islam.
MD memilih adzan satu kali saja, (lebih hemat energi listrik dan suara), selain memang karena mereka  MD lebih memakai apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adzan satu kali. Apa yang dilakukan Utsman tidak berarti keluar dari sunnah. Karena para sahabat Nabi khususnya empat sahabatnya berijtihad sesuai dengan mashlahah, dan perlu diingat, pada zaman nabi sudah ada ruh ijtihad, yaitu nabi mengiyakan muadz bin jabal untuk ijtihad jika dalam permasalahan tidak menemukan dalil al-quran dan sunnah. Di sini NU lebih maju dalam hal kreativitas ijtihad.  
Sebenarnya masjid-masjid MD (seperti masjid AR. Fakhruddin UMM misalnya) juga membuat kebijakan pengumuman shalat jumat ini bukan dengan adzan diua kali, melainkan dengan membunyikan bacaan MP3 bacaan Al-Quran Imam Al-Ghomidi misalnya. Pesan moralnya sama antara NU dan MD. Yaitu kebutuhan mengumumkan persiapan shalat jumat. Bukannya MD tidak mengakui wisdom hasil ijtihad Ustman r.a. hanya saja mereka lebih memperioritaskan apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Bagi MD, Nabi Muhammad SAW yang lebih mulya daripada sahabat-sahabatnya. Namun demikian, MD tetap mengakui keagungan sifat-sifat mulya para sahabat. MD tidak menafikan ijtihad Ustman r.a.
Berangkat dari uraian di atas, MD lebih “konsisten” dan lebih kritis dalam memilih dan memprioritaskan teks keagamaan sebagai pijakan dan pedoman untuk pelaksanaan ritual dan ritus keagamaan. MD tidak membuka pintu toleransi untuk menerima teks majazi (kiyasan dan metaforis) dalam shalawat diba’iyah yang mengesankan “pengkultusan” Nabi Muhammad SAW. Karena MD mengkhawatirkan akidah umat Islam terseret oleh ombak  permainan seni bahasa arab. Menurut Penulis, tidaklah baik kekhawatiran yang yang berlebihan dan apalagi muncul truth claim “syirik” kepada pembaca shalawat diba’yah. Karena pengunaan kata majazi (kata kiyasan dan metaforis) banyak dituangkan dalam Al-Quran.
Bukankah banyak contoh kalimat dalam Al-Quran yang secara tekstual memberi kesan pemahaman yang berpotensi membawa kekufuran dan syirik. Salah satu contoh “وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ”. Arti ayat ini secara tekstual “Demi langit yang Kami bangun dengan dengan tangan-tangan, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (QS Ad-Dzariyat: 47). Jika kita “ngemplok” (memakan) ayat ini secara tekstual dan literal, maka kata “بِأَيْدٍ” jamak dari yadun, akan berarti “tangan”. Dengan cara pemahaman seperti ini akan menjadikan asumsi Allah punya tangan. Bukankah ayat ini secara tekstual mengajarkan paham antromorpisme?
Pada saat terdengar kata “tangan”, maka yang terbesit dalam benak dan hati adalah sebagaimana tangan manusia. Maka dari itu, pemahaman ayat ini butuh ilmu seni retorika dan wicara (balaghah). Menurut teori ilmu balaghah, diartikan dengan majaz dan isti’arah. Karena kalau diartikan menurut apa adanya berdasarkan hakikat makna kata, maka akan memberi peluang terserertnya pemahaman akal yang salah pada Dzatnya Allah. Contoh lain, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [طه: 5]. Dan banyak lagi contoh-contoh kalimat Al-Quran yang membutuhkan pemahaman komprehensif dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Termasuk sain.
Demikian pula dalam kitab hadits. Lebih-lebih dalam buku-buku atau kitab shalawat, sangat banyak sekali kalimat-kalimat yang tidak seharusnya ditafsirkan dan diartikan secara literal. Karena kitab shalawat, memang tak lebih dari kitab pujian tentang sifat-sifat dan perilaku Nabi Muhammad dengan gaya bahasa roman, puisi dan syair yang karena pengarangnya sedang tenggelam dalam lautan mahabbah. Sekali lagi, sejauh tidak menuhankan Nabi Muhammad, yah sah-sah saja. Sejauh yang saya ketahui, orang-orang tradisional tidak ada yang menuhankan Muhammad SAW. Kenyataannya memang tidak ada yang sampai menuhankan Muhammad. Kekurangannya, kalangan NU hanya terbuai dengan romantisme ceremonial membaca shalawat, tanpa ada sikap kritis dan skeptualis, atau setidaknya memahami arti kalimat-kalimat yang dilantunkan. Lebih dari itu, anggapan bahwa agama yang menggelorakan rasa cinta dengan melantunkan shalawat, kurang memperhatikan kemajuan untuk mengembangkan peradaban yang diwariskan Muhammad SAW itu sendiri    
Di lain pihak, NU lebih kreatif  mengembangkan proses pemikiran epistemology itjihad dalam tiga hal (tahlilan, diba’aan, burdahan, dll) di atas. Dalam tiga hal ini MD jumud, kaku, ekslusif dan bahkan konservatif dalam ijtihad. Menurut MD masih banyak dzikir implementatif  (sosial pendidikan) yang lebih besar manfaat daripada dzikir dan pujian di atas. Untuk pujian shalawat masyarakat MD lebih banyak menjadi konsumen (pendengar dan penikmatan CD-CD shalawat Cak Nun, Haddad Alwi, Shalawat Langitan, dll); bukan kreator. Toh walaupun secara diam-diam MD juga banyak melakukan bid’ah hasanah dalam proses pelaksanaan ibadahnya. Terbukti dengan adanya pemutaran bacaan Al-Quran, i’tikaf berjamaah, PHBI, dsb. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, MD dan NU hanya berbeda sudut pandang. Pada hakikatnya adalah sama. Keduanya benar dan tidak ada yang salah.
  Sungguh pun dari luar kelihatannya berbeda, namun hakikatnya sama. Dalam satu sisi MD lebih unggul dari NU, dalam aspek yang lain NU lebih progresif dan kreatif dari MD. Salah satu contoh, kalau ada acara-acara pertemuan misalnya, karya NU dalam bentuk lagu-lagu bacaan shalawat bersenandung menyejukkan hati. Pemutaran lagu shalawat ini ada juga terjadi dalam komunitas MD, apalagi NU. Dan uniknya masyarakat MD juga menikmati lagu-lagu shalawat ini. Padahal lagu-lagu shalawat yang dilagukan ini tidak diajarkan Nabi.
Dari sini kita mengetahui bahwa dalam agama harus ada budaya yang menjadi wadah pengembangannya. MD dan NU sama. Cara pengembangannya yang berbeda. Yang tidak sama adalah yang tidak bertuhan, atau menuhankan benda. Saya tidak ingin perbedaan cara keagamaan NU dan MD dijadikan kedok untuk politik kekuasaan, atau bahkan alat untuk mendapat kekuasaan. Seringkali Penulis bertabrakan dengan kalangan yang tidak arif dan tidak punya wisdom, menampakkan sinisme, kecurigaan, bahkan menuduh yang bukan-bukan, karena ada sekat “kebodohan pemahaman agama” baik dari kalangan NU dan MD, baik kalangan pemikir kelas teri atau masyarakat bawah.
Jika yang terjadi adalah demikian, maka berarti keluar dari paham keagamaan MD dan NU. Karena di dalam NU sangat diajarkan toleran, dan di MD juga. Maka dari itu, marilah pahami agama ini dengan berfilsafat, seni, dan metodologi yang dimiliki Islam secara komprehensif. Ushul fiqh, kaidah fiqh, ulumul Quran, ulumul hadits, dan pendekatan filsafati atau epsitemologi yang lain harus dijadikan bumbu pemahaman agama. Sehingga agama ini tidak menjadi kaku, kasar, kejam, dan tidak menjadi terlalu longgar sampai keluar dari ajaran. Yang paling penting, jangan ada permusuhan, apalagi sampai menimbulkan kerusuhan. Marilah wujudkan Bhinneka Tunggal Ika dalam tubuh bangsa yang plural ini.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diulas diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan pendiri organisasi islam terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari “madrasah” (school of thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.

Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis) seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnyamembuka pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh ijtihad, menghidupkan kembali pemikiran islam.

Disisi lain, NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.

Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.

Kedua organisasi tersebut memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat perbedaan yang nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan adanya toleransi yang besar dari keduanya. Dari sini kita mengetahui bahwa dalam agama harus ada budaya yang menjadi wadah pengembangannya. MD dan NU sama. Cara pengembangannya yang berbeda. Yang tidak sama adalah yang tidak bertuhan, atau menuhankan benda. Saya tidak ingin perbedaan cara keagamaan NU dan MD dijadikan kedok untuk politik kekuasaan, atau bahkan alat untuk mendapat kekuasaan. Seringkali Penulis bertabrakan dengan kalangan yang tidak arif dan tidak punya wisdom, menampakkan sinisme, kecurigaan, bahkan menuduh yang bukan-bukan, karena ada sekat “kebodohan pemahaman agama” baik dari kalangan NU dan MD, baik kalangan pemikir kelas teri atau masyarakat bawah.





Jika yang terjadi adalah demikian, maka berarti keluar dari paham keagamaan MD dan NU. Karena di dalam NU sangat diajarkan toleran, dan di MD juga. Maka dari itu, marilah pahami agama ini dengan berfilsafat, seni, dan metodologi yang dimiliki Islam secara komprehensif. Ushul fiqh, kaidah fiqh, ulumul Quran, ulumul hadits, dan pendekatan filsafati atau epsitemologi yang lain harus dijadikan bumbu pemahaman agama. Sehingga agama ini tidak menjadi kaku, kasar, kejam, dan tidak menjadi terlalu longgar sampai keluar dari ajaran.

3.2 SARAN
            Semua agama adalah agama yanga benar tergantung bagaimana orang yang menganutnya. Begitu pula dengan islam, islam itu berarti selamat dan damai. Selamatlah dan damai bagi orang yang menganutnya. Mengapa harus berselisih paham?
Titik temu ini bisa dipertemukan dengan cara mempertemukan kedua belah imamnya. Jika masih saja belum bisa bertemu maka toleransilah yang harus kita kembangkan. Serapilah ajaran agama dengan benar agar terhindar dari hal- hal yang dapat merugikanmu.
DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari:



Studia Islamika .com                                                                   





[1]



[i]

Komentar